Stabat – Dugaan kriminalisasi yang dialami Ilham Mahmudi, warga Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat 18 April 2024 lalu terus menjadi sorotan. Praktisi hukum asal Langkat Hukban Sitorus menegaskan, Ilham harus segera dibebaskan demi hukum.
Oknum polisi, kata pengacara ini, jangan justru melanggar hukum dalam proses penegakan hukum. “Jangan asal tangkap. Lakukan dulu penyelidikan yang matang. Lakukan penindakan seusai Perkap agar jangan blunder,” kata Hukban, Jum’at (7/6/2024) pagi.
Khusus dalam perkara Ilham, semestinya aparat penagak hukum (APH) merunut asal muasal suatu tindak pidana. Dimana, ada peristiwa perusakan di kawasan hutan lindung di Desa Kwala Langkat yang dilakukan oleh sekelompok orang.
Hal ini dibuktikan dengan 1 unit ekscavator dari kawasan hutan pada kordinat 4.01098 LU – 98.48422 BT yang ditahan oleh Polda Sumut, kemudian dititipkan ke Polres Langkat. Lokasi perusakan barak yang dituduhkan kepada Ilham, juga berada pada areal yang sama.
“Ironis, warga yang menghalangi perusak hutan justru dikriminalisasi. Namun antek-antek mafia perambah hutan lindung malah ‘bermesraan’ dengan APH,” ketus Hukban.
Ketimpangan lainnya, laporan Bahrum Jawa Pelawi atas perusakan sebuah barak langsung diproses penyidik Polres Langkat. Dalihnya, pihak pelapor mengaku memiliki sertifikat alas hak di atas kawasan hutan lindung Kwala Langkat.
Beberapa waktu lalu, kata Hukban, informasinya Kejaksaan Negeri Langkat belum menerima berkas perkara Ilham dari Penyidik Polres Langkat. Sebulan lebih kemerdekaan Ilham dirampas APH untuk kepentingan sekelompok orang.
Advokat garis keras ini mencatat, ada beberap ketentuan yang mengatur tentang pembungkaman aktivis lingkungan atau Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Seperti pada Pasal 66 UU No 32 Tahun 2009 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) No 36 Tahun 2013, tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
Hukban menjelaskan KMA No 36 Tahun 2013 mendifinisikan Anti-SLAPP sebagai perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Gugatan SLAPP dapat berupa gugatan balik (gugatan rekonvensi), gugatan biasa atau berupa pelaporan telah melakukan tindak pidana bagi pejuang lingkungan hidup (misalnya, dianggap telah melakukan perbuatan “penghinaan” sebagaimana diatur dalam KUHP).
Lebih lanjut, KMA yang ditetapkan 22 Februari 2013 itu menjelaskan untuk memutuskan sebagaimana Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 bahwa gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pemohon adalah SLAPP yang dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun dalam gugatan rekonvensi (dalam perkara perdata) dan/atau pembelaan (dalam perkara pidana) dan harus diputuskan lebih dulu dalam putusan sela.
Tapi dalam praktiknya, Hukban melihat ketentuan ini sulit diterapkan. Karena, hakim yang mengantongi sertifikasi lingkungan jumlahnya minim. MA menetapkan bahwa, perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim bersertifikat lingkungan hidup pada peradilan tingkat pertama, banding dan MA.
Selain itu, Mahkamah Agung (MA) Syarifuddin menjamin masyarakat yang memperjuangkan masalah lingkungan hidup, tidak akan bisa digugat secara pidana maupun perdata. “Perlindungan itu tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup,” tegas pria berdarah Karo ini.
Salah satu yang diatur dalam Perma itu adalah ketentuan tentang Anti-SLAPP yang menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat agar tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Terlebih dalam hal memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Seperti yang disampaikan Ketua MA Syarifuddin dalam telekonferensi pada Jum’at 29 Desember lalu.
Syarifuddin menegaskan, masyatakat yang memperjuangkan masalah lingkungan hidup tidak boleh diserang. Karena, orang itu berusaha menyelamatkan generasi penerus. Menurut Syarifuddin, lingkungan bersih wajib terus ada hingga di masa yang akan datang.
“Hal tersebut menjadi perhatian serius bagi MA, karena persoalan lingkungan bukan hanya bicara soal kondisi saat ini melainkan tentang kelangsungan generasi anak cucu kita di masa yang akan datang,” ujar Hukban.
Perma Nomor 1 Tahun 2023 itu dibuat, berdasarkan peraturan perundang-undangan soal lingkungan hidup di Indonesia yang terus berubah. Beleid itu juga disahkan untuk menyempurnakan kebijakan MA sebelumnya.
“Kita hidup saat ini bukan seperti di zaman PKI yang dengan seenaknya seseorang menunjuk orang lain bersalah, langsung ditangkap. APH harus jeli dalam melakukan penyelidikan, agar orang yang tidak bersalah justru menjadi korban kesewenang-wenangan,” ketusnya. (Ahmad)