Langkat – Kelompok Tani (Poktan) Nipah di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat terus memerangi perambah kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) yang mereka kelola. Aparat berambut cepak, kerap dibenturkan korporasi perkebunan sawit dengan kelompok masyarakat penjaga hutan.
Meski mengantongi izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK), namun Poktan Nipah selalu diintimidasi. Mandaat dalam SK Nomor 13582 Tahun 2024 terkesan tak berlaku bagi perambah.

“Semalam, kami mendapati 2 orang aparat berambut cepak masuk ke dalam kawasan. Mereka mengaku suruhan dari pengusaha sawit dan membawa dokumen. Tapi mereka abai dengan plang SK Menteri terkait status kawasan yang kami kelola,” beber M Samsir, anggota Poktan Nipah, Selasa (21/10/2025) pagi.
Saat itu, anggota Poktan Nipah dengan 2 oknum suruhan pengusaha tersebut sempat cekcok mulut. Dengan jumawa, oknum tersebut mengatakan kalau cukong mereka memiliki dokumen sah atas lahan itu. Padahal, di sana jelas terpampang plang SK Men LHK Nomor 13582 Tahun 2024 tentang HKM.
Dibenturkan dengan Aparat
Aktivitas perusakan tanaman hutan dan memasuki kawasan HPT tanpa hak, sudah pun berulang kali terjadi. Poktan Nipah kerap berbenturan dengan aparat bayaran yang diutus pengusaha. Pun begitu, mereka akan terus menjalankan mandat dari Men LHK yang telah diberikan.

“Kami gak akan pernah mundur. Sudah berulang kali aparat dilibatkan pengusaha untuk jadi tameng di kawasan ini, tapi semua mundur setelah kita jelaskan status kawasan. Ini kok malah ada masuk lagi dari kesatuan lain,” tegas Samsir.
Samsir dan kelompoknya meyakini, hadirnya oknum aparat di sana juga diduga ilegal. Karena, tidak mungkin ada satupun aparat yang dibenarkan menjadi antek korporasi untuk merambah kawasan hutan.
Dalam SK HKM yang mereka miliki, Poktan Nipah berkewajiban untuk menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran. Mempertahankan fungsi hutan serta melakukan pengamanan dan perlidungan areal kerja mereka.
Sejauh ini, poktan sudah menunjukkan komitmennya dalam menjaga kawasan hutan seluas 242 hektar tersebut. Mereka telah melakukan penjarangan atau membunuh 40 hektar lebih tanaman sawit di areal itu. Jumlahnya mencapai ribuan pohon yang telah diracun dan mati.

Diinformasikan, ribuan batang pohon hutan di areal tersebut ditebang orang suruhan pengusaha sawit pada akhir Maret 2025 lalu. Beberapa orang dan peralatan perusak hutan berhasil diamankan Poktan Nipah.
Hal itu pun sudah diadukan Poktan Nipah ke Poldasu dengan bukti Laporan Nomor LP/B/460/III/2025/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA, tanggal 28 Maret 2025. Namun kasus ini belum juga ada kepastian. Para perusak hutan hingga kini masih bebas berkeliaran.
Pidana Penjara
“Kami berharap, upaya kami untuk menjaga dan melestarikan hutan, agar didukung penuh oleh pihak terkait. Termasuk oleh aparat penegak hukum, sesuai dengan mandat yang kami terima. Bukan malah dibenturkan dengan aparat,” ketus M Samsur.
Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti mengecam keras aksi oknum aparat tersebut. Ia menilai, semestinya negara dalam hal ini aparat penegak hukum haadri untuk bersama menjaga dan melestarikan hutan.

“Semestinya malu, bukan malah arogan kepada masayarakat penjaga hutan. Mereka digaji negara untuk menjadi pelindung, bukan menjadi musuh bagi masyarakat. Ada urusan apa aparat di kawasan hutan, ini harus diusut tuntas,” tegas wanita aktivis lingkungan ini.
Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 13582 Tahun 2024, kawasan seluas 242 hektare ini ditetapkan menjadi Hutan Kemasayarakatan untuk dikelola Kelompok Tani Nipah, sejak 27 Desember 2024.
Persetujuan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan ini, dierikan kapada Kelompok Tani Nipah selama 25 tahun. Hal ini terhitung sejak tanggal 24 September 2018.
Bagi pelaku perusakan kawasan hutan sendiri, bisa dijerat dengan Pasal 19 huruf a dan atau b Jo. Pasal 94 Ayat 1 Huruf a, atau Pasal 12 Huruf e Jo. Pasal 83 Ayat 1 Huruf b, UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancamannya, pidana penjara maksimum 15 tahun dan denda maksimum Rp 100 miliar. (Ahmad)